Minggu, 21 Desember 2008

Membangun karakter anak

Persaingan tahun 2021! Itu yang menjadi beban banyak orang tua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai negara di dunia.

`’Tuntutan kualitas sumber daya manusia tahun 2021 membutuhkan good character,'’ kata Dr Ratna Megawangi dalam seminar setengah hari Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini, Seberapa Penting? di Jakarta, 3 Mei lalu.

Adalah orang-orang yang senang belajar, terampil menyelesaikan masalah, komunikator yang efektif, berani mengambil risiko, punya integritas -jujur, dapat dipercaya, dan dapat diandalkan, dan penuh perhatian, toleransi, dan luwes yang bisa bersaing kelak. Itu adalah karakter yang bagus. Betapa tidak. Banyak orang yang pintar dan berpengetahuan.

`’Karakter adalah kunci keberhasilan individu,'’ tambah Ratna. Ia lantas mengutip sebuah hasil penelitian di AS bahwa 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Didukung pula penelitian lain yang menunjukkan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.

Bagaimana mendidik karakter anak?
Menurut Ratna Megawangi, menciptakan lingkungan yang kondusif. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak ang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Untuk itu, pendiri sekaligus direktur eksekutif Indonesia Heritage Foundation ini melihat peran keluarga, sekolah, dan komunitas amat menentukan.

Membentuk karakter
Membentuk karakter, kata Ratna Megawangi, merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak, jelas ketua bagian Tumbuh Kembang Anak, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, ini, akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Untuk itu, ia melihat tiga pihak yang mempunyai peran penting. Yakni, keluarga, sekolah, dan komunitas.

Dalam pembentukan karakter, jelas Ratna, ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Kemudian, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. `’Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan,'’ kata Ratna, mencontohkan.

Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Lewat proses itu, Ratna menyebut sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan pada anak. Ia memulainya dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasi sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara. Lalu, bagaimana menanamkan karakter pada anak? Mengutip hasil riset otak mutakhir, Ratna menyebut usia di bawah tujuh tahun merupakan masa terpenting. `’Salah didik memengaruhi saat ia dewasa,'’ katanya.

Mana yang disimpan?
Pendidikan karakter seharusnya dimulai saat anak masih balita. Praktisi pendidikan Edy Wiyono, pada acara yang sama, menggambarkan betapa balita masih kosong pengalaman. `’Jika ia melihat sesuatu langsung dimasukkan tanpa dipilih-pilih,'’ katanya. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita belum ada ‘program’ penyaring.

Nah, materi yang pertama masuk pada otak anak akan berfungsi sebagai penyaring. Karena itu, Edy mengingatkan orang tua agar waspada. Sebab, jika terlambat mengisi pengalaman pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi pihak lain. ‘’Orang tua yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia ini, berhati-hatilah,'’ katanya.

Anak tak hanya merekam materi yang masuk. Tapi juga yang lebih dipercaya, yang lebih menyenangkan, dan yang berlangsung terus-menerus. Saat anak sudah memasuki dunia sekolah, anak biasanya lebih percaya pada guru. Bila demikian adanya, Edy mengingatkan hal itu sebagai pertanda orang tua untuk mengevaluasi diri. `’Kita harus meningkatkan kemampuan kita untuk lebih dipercaya.'’

Bagi orang tua bekerja, Edy juga mengingatkan agar selalu menyediakan waktu bagi anak-anaknya. ‘’Hati-hati, agar jangan sampai tv menggantikan peran orang tua bagi sang anak,'’ ujarnya.
Bekerja maupun tidak, menurut Edy, orang tua harus berupaya menjadikan dirinya role model untuk membangun kepercayaan anak. Selain itu, mengupayakan komunikasi dengan anak secara menyenangkan, tidak hanya memerintah-merintah, mengkritik, dan membentak-bentak. ‘’Anak dirancang Tuhan tidak untuk dibentak-bentak,'’ ujar Edy,'’Karena sesungguhnya pendengaran anak itu amat tajam.'’

Untuk mendampingi sang anak yang tengah dalam pertumbuhan, praktisi multiple intelligences and holistic learning ini menyarankan para orang tua agar berupaya menjadi ‘konsultan pribadi’ mereka. Bagaimana caranya? Yang paling utama, Edy menyarankan kebiasaan yang dilakukan para orang tua. ‘’Stop menghakimi anak dan stop mengungkit-ungkit,'’ katanya. Ia juga mengingatkan agar tidak menggunakan amarah. Sebab, marah tidak pernah menyelesaikan masalah dengan baik. Tidak juga membanding-bandingkan anak.

Dalam berkomunikasi, orang tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun berkomentar, saran Edy, gunakan komentar yang menyenangkan. Yakni, misalnya, dengan metode ‘’rasa-rasa …'’, ‘’dulu pernah …'’.

Satu hal yang tak boleh dilupakan, kata Edy, orang tua jangan pernah membuat keputusan untuk anak. ‘’Biarkan anak yang memilih,'’ katanya. Dan, selama pertumbuhan anak, Edy menyarankan para orang tua untuk selalu membangun kedekatan dan biasakan berdialog. ‘’Agar anak terbiasa untuk meminta pertimbangan dan nasihat dari Anda.'’
Melewati Fase Kritis Anak

Ada enam fase kritis, menurut praktisi pendidikan Edy Wiyono, yang dilalui anak hingga menjadi dewasa. Orang tua dan guru hendaknya memahaminya sebagai suatu yang normal. ‘’Bahwa anak sudah pada fasenya,'’ kata narasumber Smart Parenting di Smart FM 95,9 ini. Edy memberi bantuan pada para orang tua untuk menandai dan menyikapi fase-fase pertumbuhan anaknya mulai dari balita, usia TK, usia SD, usia SMP, usia SMA, hingga usia kuliah. Satu hal yang penting tak boleh dilepaskan dalam masing-masing fase itu, Edy menyarankan, ‘’Gunakan pujian untuk perilaku, atau perubahan perilaku yang baik. Berikut lima dari enam fase yang disampaikannya beberapa waktu lalu:

Usia balita
Ciri-ciri: merasa selalu benar, memaksakan kehendak, tidak mau berbagi. Peran orang tua:- Berikan kesempatan anak beberapa detik untuk berkuasa. - Berikan kesempatan beberapa detik untuk memiliki secara penuh.- Perkenalkan pada arti boleh dan tidak boleh dengan menggunakan ekspresi wajah.- Konsisten dan jangan menggunakan kekerasan baik suara maupun fisik.

Usia TK
Ciri-ciri: konflik adaptatif, imitatif, berbagi, dan mau mengalah. Ketiga sifat terakhir ini karena anak ingin diterima dalam kelompok.Peran orang tua:- Beri kesempatan untuk memerhatikan, mencoba, dan bekerja sama. - Perhatikan dan luruskan perilaku imitatif yang cenderung negatif. - Dukunglah anak untuk bisa berbagi dan mengalah.

Usia SD
Ciri-ciri: anak ingin mendapat pengakuan diri. Karena itu, ciri-ciri utamanya punya pendapat berbeda, penampilan berbeda, gaya bicara berbeda, dan hobinya pun berbeda.Peran orang tua:- Menghargai pendapatnya dan jangan menyalahkan.- Ajaklah dialog logika dan pengalaman. - Pujilah hal-hal yang baik dari penampilannya, bantulah dengan kalimat positif untuk bisa tampil lebih baik lagi. - Jangan langsung menyela gaya bicaranya, bangun ketertarikan dan bantulah dia untuk bisa lebih punya gaya bicara yang menarik.

Usia SMP
Ciri-ciri: anak memasuki persaingan. Karena itu anak mengalami konflik antarpersonal, konflik antarkelompok, dan konflik sosial. Peran orang tua:- Meningkatkan proses kedekatan dengan anak melalui dialog dan berbagai cara.- Jadilah pendengar yang baik dan buka menjadi hakim.- Jangan pernah menyela pembicaraan dan cerianya. - Jangan beri komentar atau nasihat sebelum tiba waktunya.

Wallahu’alam.
dikutip dari www.beranda.blogsome.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar